Headline

Bandai Namco Rilis Roguelite Perdana—Ternyata Terinspirasi Langsung dari Hades

Bandai Namco Rilis Roguelite Perdana—Ternyata Terinspirasi Langsung dari Hades

Dalam hiruk-pikuk gelaran Summer Game Fest minggu lalu, mudah sekali melewatkan judul baru seperti Towa and the Guardians of the Sacred Tree. Game ini hadir hanya lewat cuplikan singkat tanpa pengumuman besar atau hype berlebihan. 

Namun, di balik tampilannya yang sederhana, Towa menyimpan proses pengembangan yang tidak biasa—dan justru itulah yang membuatnya layak disorot sebagai salah satu game paling unik yang muncul di panggung tahun ini.

Usai pengumuman resmi dan sesi demo terbatas, saya berkesempatan berbincang langsung dengan Daisuke Nagaoka selaku produser dari Bandai Namco, serta Shuhei Yamashita, sang sutradara game dari tim pengembang Brownies. 

Dari obrolan itu, terungkap banyak hal menarik—terutama soal latar belakang Brownies, studio pengembang yang punya rekam jejak panjang dan warisan kreatif yang tak bisa dianggap remeh.

Asal Usul Brownies: Studio Kecil dengan Warisan Besar dalam Dunia RPG

Asal Usul Brownies: Studio Kecil dengan Warisan Besar dalam Dunia RPG

Tak banyak yang tahu bahwa Brownies sebenarnya merupakan kelanjutan dari Brownie Brown Inc., sebuah studio game asal Tokyo yang pernah berada di bawah naungan Nintendo. Didirikan oleh dua veteran seri Mana, Shinichi Kameoka dan Kouji Tsuda, Brownie Brown tercatat pernah terlibat dalam pengembangan beberapa judul ternama seperti Sword of Mana, Heroes of Mana, Super Mario 3D Land, hingga Fantasy Life—game-game yang masih dikenang hingga kini oleh penggemar JRPG dan platformer.

Namun, babak baru dimulai pada tahun 2012 ketika Brownie Brown resmi berubah haluan menjadi studio internal pendukung Nintendo dan mengganti nama menjadi 1-Up Studio. Perubahan itu menjadi titik balik: Kameoka memilih keluar dan bersama beberapa pengembang lama, ia mendirikan Brownies—studio independen baru yang kini menjadi ujung tombak di balik proyek roguelite Towa and the Guardians of the Sacred Tree.

Setelah sukses membangun identitasnya sendiri lewat judul-judul seperti Fantasy Life Link!, seri Egglia, dan proyek kolaborasi Doraemon Story of Seasons yang diterbitkan oleh Bandai Namco, Brownies mulai mendapat tempat sebagai studio dengan ciri khas kuat dan kreativitas tinggi. 

Menurut Daisuke Nagaoka dari Bandai Namco, kerja sama sebelumnya berjalan sangat mulus, sehingga ketika pengembangan Doraemon Story of Seasons hampir rampung, mereka pun sepakat untuk melanjutkan kolaborasi. "Kreativitas mereka luar biasa," ujar Nagaoka. "Kami ingin membuat sesuatu yang benar-benar orisinal bersama mereka."

Namun, arah proyek baru ini justru berbelok dari rencana awal. Bandai Namco sempat mengajukan permintaan untuk mengembangkan RPG orisinal dengan cita rasa khas Jepang—sebuah permintaan yang sangat masuk akal jika melihat rekam jejak Brownies. 

Tapi Shuhei Yamashita, sang game director yang ternyata adalah penggemar berat game roguelite, melihat kesempatan berbeda. Ia mengajukan ide berani: membuat game dengan genre yang sama sekali belum pernah diterbitkan Bandai Namco sebelumnya.

Asal Usul Brownies: Studio Kecil dengan Warisan Besar dalam Dunia RPG

Lalu, mengapa Bandai Namco menyetujui ide yang sangat di luar kebiasaan mereka?

Menurut Daisuke Nagaoka, ada tiga alasan utama yang mendorong keputusan tersebut. Yang pertama, dari sisi pasar global, genre roguelite menunjukkan potensi besar dengan basis pemain yang terus tumbuh di berbagai wilayah. Dari perspektif bisnis, ini adalah langkah strategis yang masuk akal. Kedua, meski belum pernah terjun ke genre ini sebelumnya, Bandai Namco melihatnya sebagai peluang untuk bereksperimen dan memperluas portofolio mereka ke ranah yang lebih segar dan menantang.

“Genre roguelite punya pasar yang luas secara global,” jelas Nagaoka. “Dan bagi kami, ini adalah tantangan yang layak dicoba, karena sebelumnya kami belum pernah mengembangkan game seperti ini.”

Menyatukan Narasi dan Roguelite: Inspirasi yang Mengubah Arah

Menyatukan Narasi dan Roguelite: Inspirasi yang Mengubah Arah

Alasan ketiga—dan mungkin yang paling visioner—berkaitan dengan cerita. Menurut Nagaoka, genre RPG dikenal karena kekuatan naratifnya, sedangkan sebagian besar roguelite justru lemah di aspek ini. Dari sinilah muncul ambisi untuk menciptakan game roguelite yang tak hanya menantang secara gameplay, tetapi juga emosional dan kuat dalam cerita. "Kami ingin menghadirkan pengalaman roguelite dengan pondasi narasi yang kuat, sebagai pembeda dari judul-judul lain di genre ini," jelas Nagaoka.

Namun pendekatan seperti itu bukan tanpa preseden. Ada satu game yang sukses memadukan gameplay roguelite dengan storytelling yang mendalam—yakni Hades. Game garapan Supergiant tersebut menjadi referensi utama karena mampu membuktikan bahwa narasi yang dinamis dan sistem permainan yang adiktif bisa berjalan beriringan.

“Hades terasa sangat nyaman dimainkan,” ungkap Yamashita. “Rasa kontrolnya halus, alurnya mengalir, dan itu yang saya harapkan bisa dicapai juga dalam game ini.”

Yamashita menilai bahwa Hades berhasil bukan hanya karena konsepnya, tapi juga karena kenyamanan saat dimainkan. Baginya, rasa kontrol yang intuitif dan alur permainan yang mengalir adalah sesuatu yang ingin ia tiru dan kembangkan dalam Towa and the Guardians of the Sacred Tree. Meskipun terinspirasi dari game tersebut, Towa tetap memiliki identitas budaya yang sangat kental. 

Bandai Namco memang sejak awal menginginkan game dengan nuansa khas Jepang, dan di sini keinginan itu benar-benar diwujudkan. Yamashita menjelaskan bahwa meski tidak secara langsung mengadaptasi satu cerita rakyat atau mitologi tertentu, Towa banyak meminjam elemen visual dan simbolik dari budaya Jepang dan Timur secara umum.

Karakter-karakternya mencerminkan beragam motif yang familiar di dunia Timur—mulai dari shiba inu, ikan koi, hingga sosok samurai. Pada tahap awal pengembangan, Brownies bahkan menciptakan 24 karakter unik dengan desain siluet dan kepribadian berbeda-beda. Dari sana, mereka mengadakan seleksi internal untuk menyaring jumlahnya menjadi delapan karakter final yang tampil dalam game.

Namun inilah titik pembeda utama Towa dibandingkan dengan Hades atau roguelite lain: pemain tidak hanya mengendalikan satu karakter. Dalam Towa, dua karakter dimainkan secara bersamaan—satu berperan sebagai petarung jarak dekat dengan pedang, dan satunya lagi berperan pendukung dengan tongkat sihir. 

Keduanya memiliki kemampuan berbeda yang tergantung pada peran yang dimainkan. Lebih menarik lagi, masing-masing dikendalikan secara independen dengan dua stik analog dan tombol berbeda. Meskipun kontrol ganda ini membutuhkan adaptasi, pendekatan tersebut memberikan pengalaman bermain yang segar dan jauh dari pakem roguelite tradisional.

Yamashita mengungkapkan bahwa sistem dua karakter ini dirancang dengan dua tujuan utama. Pertama, secara teknis, karena game ini menggunakan perspektif top-down, kontrol dua karakter bisa berjalan efektif tanpa perlu menggerakkan kamera seperti dalam game 3D konvensional. Kedua, dari sisi naratif, kehadiran dua karakter memungkinkan munculnya dinamika hubungan dan percakapan yang menambah kedalaman cerita—sesuatu yang sulit dicapai bila hanya fokus pada satu tokoh utama.

Towa and the Guardians of the Sacred Tree dijadwalkan rilis pada 19 September 2025 untuk PlayStation 5, Xbox Series, PC melalui Steam, serta Nintendo Switch. Untuk kesan awal dari sesi bermain langsung, kamu bisa membaca preview lengkapnya melalui tautan berikut.

Post a Comment